Thought: Antara Mimpi dan Pandangan Masyarakat

Hmm, post yang satu ini sebenarnya memang sedikit *curhat* 😀

I am currently enrolled in NCU Taiwan, second year Master Degree Student, dan berharap bisa lulus tepat waktu. Seiring berjalannya waktu, entah kenapa saya merasa semakin kurang berilmu, dan masih ingin “berpetualang” ke tempat-tempat lain, menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari pengajar-pengajar kelas satu, berinteraksi dengan berbagai macam orang dari seluruh dunia, dan merasakan kehidupan mandiri di negri orang. But then, di usia yang sekarang ini (still 23rd, anyway) dorongan untuk melanjutkan ke jenjang Ph.D membutuhkan pertimbangan yang amat sangat matang.

Why? Seperti yang saya tahu, di lingkungan tempat saya tinggal, far away from here, Indonesia, my beloved country, pandangan masyarakat mengenai wanita seusia saya, yang berpendidikan, dan masih ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kurang mendapatkan apresiasi. Mereka (kebanyakan) pasti akan berkata, “sekolah terus kapan menikahnya?”. Memang tidak semua orang berpendapat seperti itu, tetapi di lingkungan tempat tinggal saya, di mana masih sedikit wanita yang berkesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, berpendapat bahwa wanita seumur saya yang akan menikah is better than wanita seusia saya yang masih melanjutkan kuliah, belum berpenghasilan, dan entah kapan akan menikah.

Bukannya saya merendahkan wanita yang memilih menikah di usia muda, teman-teman saya juga sudah ada yang menikah, dan mereka memiliki mimpi masing-masing, either melanjutkan pendidikannya, membaktikan diri pada keluarga sebagai ibu rumah tangga, atau memilih jalan yang lain di dunia kerja. People have their own choices. Some of them choose to get married, being a housewive (I adore people who choose this way, menurut saya ini adalah pilihan yang berat, keep fight, housewives!), some of them choose to get married, yet still continuing their study or pursuing their career. Then is it wrong if I choose to continuing my study first then get married?

Sometimes the biggest obstacle is not ourselves, it is, indeed, the people around us. Family, neighbors, friends, even acquaintances. Ketika wanita ingin meraih mimpi setinggi-tingginya, mereka terkadang akan menurunkan semangat juang kita dengan “what if” and “why don’t you”. Mungkin memang ada beberapa hal yang mereka ingin kita pertimbangkan, dan memang kodrat wanita, as they said, is being a mother and a great wive. Menjadi ibu dan istri yang baik adalah kewajiban wanita, memang, tetapi apakah karena itu kami tidak bisa meraih apa yang kami impikan? Jika lelaki yang ingin meraih mimpinya, pasti akan didukung, dan masyarakat akan memuji dengan setulus hati *maybe* jika kaum lelaki meraih kesuksesan. Well, that is a good thing. Tetapi terkadang saya merasa hal ini kurang adil. Let’s make the comparison. Seorang wanita, umur 27, lulus Ph.D, belum menikah, apa yang akan orang sekitarnya bilang? “makanya, jangan tinggi-tinggi kalau sekolah, nanti susah jodohnya”. Seorang lelaki, umur 27, lulus Ph.D, belum menikah, mungkin orang sekitarnya akan berkomentar baik “coba lihat si x, doktor, lulusan luar negri, dan masih single, calon menantu idaman”. See the difference?

Bahkan di kelas, di saat dosen saya menyemangati mahasiswanya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, they said “kalau ada kesempatan langsung lanjut ke S 3 saja, eh tapi untuk mbaknya, menikah dulu ya mbak”. Salah satu dosen saya menambahkan, “nanti laki-lakinya minder”. Hmm.. but then he said ” tapi tergantung laki-lakinya. seharusnya tidak menjadi masalah”. Right, seharusnya pendidikan tinggi tidak menjadi masalah bagi kaum wanita, selama kami bisa membatasi dan menjaga diri. I once heard people talked, “buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya cuma jadi ibu rumah tangga”. I beg your pardon, being a housewive menurut saya bukanlah hal yang mudah. It is a hard way. Mendidik anak sedari kecil harus dilakukan oleh orang yang berpendidikan. Wrong way? then the result will totally go wrong. Pilihan apapun yang nantinya kami pilih, bukankah kami wanita, berhak, dan seharusnya, wajib berpendidikan tinggi? Memang, pendidikan yang dimaksud bukan hanya didapat dari bangku perkuliahan. We can get educated any where, every where. Menikah pun memang bukan halangan bagi wanita untuk menggapai mimpi. Tidak ada yang salah dengan menikah muda. No matter how old are you, when you’re ready (mentally, physically, economically, etc) then it’s okay for you to get married. Memang sih, dulu rasanya pingin nikah muda, maybe around this age, 23-25. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, I haven’t ready yet. Bukan karena ingin melanjutkan studi atau bekerja, but I just couldn’t imagine myself in a marriage life. Masih belum bisa mengemban tanggung jawab sebesar itu, mungkin. Because I really hope it will be a once in a lifetime moment.

Kok jadi melebar? Anyway, the point is, what is wrong with well-educated unmarried woman, dear society? Alhamdulillah keluarga terdekat saya selalu mendukung apa yang saya inginkan, selama itu baik dan berada di koridor Islam. My family, encourage me to pursue my dreams, it’s okay to go on Ph.D if you want, they said. Dan di depan orang-orang lain yang menanyakan “kapan nyusul” ketika di kondangan, atau keluarga besar yang menanyakan “kapan menikah” saat lebaran, they will said “belum saatnya, biar sekolah dulu”. As long as my family accept and agree with my plan, then for me it’s ok. 😀

Bagaimana Allah menjawab Doa-Doaku

Then which of the favors of your Lord will you deny?

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

(Q.S. Ar-Rahman)

Ya, maka nikmat Allah yang manakah yang sudah kudustakan? Hari ini  entah kenapa sedikit merenung serius *biasanya gak pernah serius ._.* tentang nikmat yang sudah Allah berikan padaku. Memang, ada kalanya saya merasa protes, tidak dikabulkan doanya, padahal sudah (merasa) berusaha dan berdoa dengan sepenuh hati. Tapi siapa yang tahu apa yang Allah rencanakan.

Seperti yang sudah kita ketahui, namun sering kita lupakan, bahwa Allah tidak pernah berkata “tidak” pada doa umat-Nya. Ada 3 respons Allah terhadap do’a yang kita ajukan.

  1. Ya, Dia akan mengabulkan apa yang kita panjatkan saat itu juga
  2. Tunggu, Dia akan mengabulkan doa kita, tetapi tidak sekarang
  3. Dia memiliki rencana lain yang lebih baik daripada apa yang kita inginkan

Dari ketiganya, alhamdulillah sudah pernah saya rasakan..

Yes, ketika khawatir dengan nilai mata kuliah yang diambil semester ini, karena hasil midterm yang sangat jelek *duh*, ketar ketir karena kalau tidak lulus harus mengulang tahun depan, yang berarti semakin lama lulusnya ._. Alhamdulillah Allah mengabulkan doa saya meluluskan ketiga mata kuliah tersebut, dengan nilai yang cukup. Hei, I asked for passing the grade, not being the number one in the class, so this is His answer. Meskipun dengan usaha yang penuh darah dan keringat juga sih ya, tapi Alhamdulillah, doa saya yang ini dikabulkan.

Wait, pertengahan tahun 2011 ketika saya sekeluarga umroh, saya berdoa di depan pintu Ka’bah, multazzam, di tempat-tempat dan waktu yang dihijabah doanya, saya memohon supaya bisa lulus S1 tahun itu dan diberikan kesempatan ke menimba ilmu di luar negri. Doa saya untuk kelulusan dikabulkan beberapa bulan setelahnya, 21 Maret 2012, dan kesempatan untuk menimba ilmu ke luar negri akhirnya dikabulkan di pertengahan 2013. I have to wait for almost 2 years for my pray. But it is worth the wait. Kenapa? kalau untuk kelulusan memang my bad, salahnya sendiri males-malesan kerjain skripsi ._. *this is the proof that we should also tried our best, tidak cuma berdoa tapi tidak ada usaha*. Jika, saya diberi kesempatan ke luar negri pada tahun itu, mungkin akan berbeda. Tetapi yang saya yakin, bahwa saya baru diberi kesempatan itu setelah 2 tahun menunggu adalah yang terbaik bagi saya. Mungkin, pada tahun itu I haven’t grown up and mature, not only my behavior, but also my way of thinking and my religion basic. Entah apa jadinya saya jika pergi tahun itu. Ketika berangkat tahun lalu saja, masih merasa banyak kekurangan, baik dalam ilmu, kemandirian, kedewasaan, maupun basic agama yang akan membantu saya survive. Apalagi jika berangkat tahun 2011. Alhamdulillah He answer my du’a last year.

He has a better plan for me, seringkali saya merasakan yang satu ini. Tentang pemilihan riset dan universitas, misalnya. Riset saya di S1 adalah tentang fiber optik. Right after the DD scholarship announced, saya berdoa bisa mendapatkan Profesor dan topik riset yang sesuai dengan skripsi di S1. Nyatanya? sekarang saya malah beralih ke bidang yang berlawanan dengan fiber optik, yaitu antenna dan FPGA board. Why? Yang bisa saya pikirkan adalah memang ini yang terbaik, karena toh kalau nantinya saya pulang ke tanah air, bidang riset yang saya inginkan di fiber optik masih di angan-angan dan tidak bisa diimplementasikan dalam waktu dekat, atau malah tidak akan diimplementasikan di Indonesia. Sementara tentang topik riset yang sekarang, insya Allah bisa diimplementasikan segera, mungkin akan mengalami beberapa modifikasi, but it is, indeed, implementable, dan tidak “mengada-ada”. He really has a best plan for me.

Ada memang, do’a saya yang belum diberikan jawaban oleh Allah, walaupun sama-sama saya panjatkan di depan multazzam, tetapi doa yang ini belum ada jawabannya. Jelas bukan “yes”, mungkin “wait” atau “He has a better plan”.  Atau mungkin Dia sudah memberikan jawaban, hanya saja saya yang tidak mampu menangkap tanda-tanda yang diberikan-Nya? Manapun jawaban yang diberikan, it is surely the best for me. Doa apa itu? just let me keep it by my self 😀

Maka, renungan saya hari ini, tidakkah saya malu selalu meminta pada Nya, masih protes dan merasa “iri” dengan kondisi orang-orang di sekitar, ketika Dia sudah menjawab doa-doa saya, dan selalu memberikan yang terbaik bagi saya? Then, seperti yang sering diulang dalam Q.S. Ar-Rahman, “Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu abaikan?”

DSR Lab, February 19th 10.21